WOW HUKUMAN KUTUKAN MENGERIKAN, HUKUM BADAN DAN DENDA UANG PADA MASA JAWA KUNO

Tiga jenis hukuman pada masa Jawa Kuno: kutukan mengerikan, denda uang, dan hukuman badan.
Risa Herdahita Putri
1 minggu lalu, 22:41
facebooktwitterlinewabbmemail
Sumber Hukum Masa Jawa Kuno
Gambaran tindakan yang melanggar aturan dalam relief Karmawibhangga, Candi Borobudur.






RAKYAT Desa Balingawan kian melarat. Mereka tidak jarang menanggung denda atas durjana yang tak mereka ketahui. Tak jarang warga mengejar darah berceceran. Sesekali sesosok mayat terbaring begitu saja di tegalan Gurubhakti pada pagi hari. Namun, tak di
ketahui siapa pelakunya.

Malangnya, tegalan tersebut masuk distrik desa mereka. Warga juga mesti menunaikan denda atas rāh kasawur (darah berceceran) dan wankay kabunan (mayat yang terpapar embun). Mereka kemudian memohon pada Rakryān Kanuruhan melewati tiga patih Desa Balingawan. Permohonan tersebut dikabulkan. Tegalan Gurubhakti diputuskan sebagai sima. Warga desa tak lagi takut. Jalanan aman.

Demikian yang dikabarkan Prasasti Balingawan yang dikeluarkan tahun 891 M.

Epigraf Boechari dalam "Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menuliskan apa yang terjadi pada penduduk Balingawan tersebut terjelaskan lewat naskah Hindu Sārasamuccaya. Penduduk Balingawan mesti bayar denda sebab lalai atas terjadinya pembunuhan di malam hari. Sampai-sampai pembunuhan tersebut tak diketahui siapa pun sampai-sampai mayatnya terpapar embun di pagi hari.

Berdasarkan keterangan dari arkeolog Supratikno Rahardjo keputusan hukum pada masa lalu dilaksanakan menurut buku hukum tertulis yang mempunyai sifat nasional, hukum adat yang masih dijadikan sumber aturan tambahan, dan pengetahuan mengenai hukum formal sudah dikenal oleh warga pedesaan. Itu diketahui terutama pada masa Majapahit. Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung memuat keterangannya.

"Prasasti dari masa Majapahit, Bendosari dan Parung, memuat penjelasan bahwa persoalan hendaknya dapat ditamatkan menurut peraturan yang termuat dalam buku hukum, pendapat umum (adat?), permasalahan serupa yang terjadi sebelumnya, isi buku Kutaramanawa, dan kelaziman pejabat kehakiman yang berpengalaman sejak dulu kala," tulis Supratikno dalam Peradaban Jawa.

Supratikno menyatakan penyusunan buku hukum secara sistematis hadir sejalan dengan kian bervariasinya jenis sanksi. Paling tidak terdapat tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan di Jawa Kuno: kutukan yang mengerikan, denda uang, dan hukuman badan.

Namun, terdapat kecenderungan penekanan yang bertolak belakang pada tiap zaman. Sumber prasasti dari periode Mataram sampai masa Tamwlang-Kahuripan, sebelum abad ke-12, lazimnya menekankan kutukan khususnya terhadap pelanggar peraturan sima. Pada masa Mataram, sekitar ini belum ditemukan naskah hukumnya.

Sementara prasasti periode Kadiri, menginjak abad ke-12, mulai melafalkan sanksi dalam format uang. Sanksi kutukan tetap berlaku sebagaimana dalam mantra kutukan pancamahabhuta (lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).

"Belum diketahui apakah pembakuan hukum telah dikenal atau belum dalam periode ini," tulis Supratikno.

Dari sana dapat disaksikan kalau masa Kadiri mulai terjadi evolusi pandangan soal sanksi, dari menyerahkan efek takut mempunyai sifat magis ke efek jera. Ini, menurut keterangan dari Supratikno, dapat dianggap sebagai format pengawasan yang lebih ketat ketimbang sekadar kutukan yang mengandalkan kesadaran.

"Itu berupa sanksi perbuatan nyata, laksana denda emas dalam jumlah satuan kati dan suwarna," tulis Supratikno.

Pada masa Singhasari dan Majapahit, sanksi kutukan dan denda tetap dipertahankan. Namun, hukuman badan mulai berjalan. Pada periode ini pula format pelanggaran tertentu ditata dalam undang-undang hukum antara beda termuat dalam Kutaramanawa, Purwadigama, dan Rjapatigundala.

"Meski buku aturan hukum itu ditetapkan secara jelas pada masa Majapahit, namun tidak mesti berarti pada masa tersebut pula baru dilaksanakan kodifikasi," tulis Supratikno.

Berkaitan dengan urusan itu, berita Tiongkok mengenai Jawa pada abad ke-12 dan ke-13 menyinggung waktu tersebut orang bersalah didenda dengan sebanyak emas. Sedangkan merampok atau menculik dihukum mati.

Berdasarkan keterangan dari Supratikno keterangan tersebut memberikan petunjuk mula penyusunan buku hukum barangkali telah dibuka sejak masa Kadiri. Walaupun sebanyak naskah hukum yang sekarang masih bertahan nyaris semuanya ditulis pada masa pasca-Majapahit.

Alasannya, menurut keterangan dari Boechari dalam “Kerajaan Mataram dari Prasasti" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, tidak sedikit naskah dari masa sebelum tersebut tak bertahan sampai kini. Mungkin naskah hukum tersebut tak ditulis di bahan yang tahan lama dan gampang rusak laksana daun lontar atau karas. Setelah berpuluh tahun naskah juga rusak.

Alasan lain sebab rusak naskah butuh disalin. Tentunya perlu penyesuaian terhadap pertumbuhan masyarakat dan bahasa. Naskah hukum yang hingga pada masa sekarang, walau berbahasa Jawa Kuno, memuat istilah dari kerajaan di Bali pasca-Majapahit, laksana awig-awig dan bandesa.

Adapun di era Majapahit, peranan hukum nampaknya kian penting. Naskah laksana Kutaramanawa, Dewagama, Adigama, Swarajambhu, Canakya, Kemandaka, Kertopati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama, dan Sarasamuchaya diduga diciptakan pada masa itu. Sayangnya, baru beberapa kecil yang diterbitkan, yakni Dewandanda, Kutaramanawa, Krtopapati, Wratisasana, dan Sarasamuccaya. Selebihnya melulu ada pemaparan dan ikhtisar isi naskah dalam katalog naskah di Leiden dan di Museum Nasional.

Bagaimanapun, menurut keterangan dari Boechari, naskah hukum adalahunsur yang mesti ada dalam institusi kerajaan. Ini mengambil kelaziman dari institusi kerajaan di India. Jadi, bukan berarti pada masa sebelum Majapahit sampai Majapahit tidak terdapat naskah tertulis yang dipakai dalam institusi pengadilan.

“Semua kerajaan kuno di Nusantara memakai naskah hukum dalam bahasa negaranya yang adalahterjemahan dari naskah hukum India,” tulis Boechari.

Buktinya, besaran denda terdapat dalam satuan duit dari India laksana krsnala dan pana. Dua satuan ini tak pernah hadir dalam prasasti berbahasa sanskerta dan Jawa Kuno yang ditemukan di Nusantara. Biasanya istilah yang digunakan ialah swarna, masa, dharana, dan kupang

Comments

Popular Posts